Selasa, 03 April 2012

Makalah Metodologi Penelitian hadis

                                MODEL PENELITIAN HADIS (NAQD ATAU KRITIK)
 
BAB I
PENDAHULUAN


      A.  Latar belakang
Hadis atau yang disebut juga dengan sunnah, sebagai sumber ajaran islam yang berisi pernyataan, pengamalan, pengakuan, dan hal ihwal Nabi SAW yang beredar pada masa nabi Muhammad SAW hingga wafatnya, disepakati sebagai sumber ajaran islam setelah Alquran dan isinya menjadi hujjah (sumber otoritas) keagamaan. Oleh karena itu, umat islam pada masa Nabi Muhammad SAW dan pengikut jejaknya, menggunakan hadis sebagai hujah keagamaan yang diikuti dengan mengamalkan isinya.
Namun, keadaan hadis  Nabi Muhammad SAW dalam kesepakatan tersebut, tidaklah demikian keadaannya pasca masa Nabi Muhammad SAW.  hadis pasca masa Nabi Muhammad SAW telah berada dalam suatu kondisi yang mulai tidak seimbang dengan posisi Alquran , karena ia telah berada di tengah-tengah banyak faktor misalnya dalam periwayatan selain berlangsung secara lafal juga berlangsung secara makna, banyak pemalsuan hadis dan hadis merupakan sumber ajaran islam  di samping Alquran yang dibukukan dengan memakan waktu jauh lebih lama dari pembukuan Alquran. Dari banyak faktor diatas, maka kondisi hadis pasca masa Nabi Muhammad SAW sudah tidak seperti pada masa Nabi SAW, dan memiliki banyak peluang untuk diadakan penelitian dan pengkajian dalam banyak persoalan.   
B.   Rumusan Masalah
1.      Jelaskan kriteria keshahihan hadis?
2.      Apa yang diketahui tentang metode penelitian hadis?
3.      Apa tujuan dan manfaat dari  penelitian hadis?
C.  Tujuan Penelitian
1.        Untuk mengetahui kriteria keshahihan hadis.
2.        Untuk mengetahui tentang metode penelitian hadis.
3.        Untuk mengetahui tujuan dan manfaat dari  penelitian hadis.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kriteria kesahihan Hadits
Ulama hadits dalam menetapkan dapat diterimanya suatu hadits tidak hanya mensyaratkan hal-hal yang berkaitan dengan rawi hadits saja. Hal ini, disebabkan karena hadits sampai kepada kita melalui mata rantai yang teruntai dalam sanadnya. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits disela-sela mata rantai tersebut. Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan dengan syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga penyatuan tersebut dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui mana hadits yang dapat diterima dan mana hadits yang harus ditolak.
Pada umumnya para pakar hadits mengklasifikasikan hadits kedalam tiga bentuk, yaitu: shahih, hasan dan dha'if. Adapun hadits maudhu' tidak termasuk dalam pembagian tersebut, karena pada dasarnya itu bukan hadits. Penyebutannya sebagai hadits hanya dikatakan oleh orang yang suka membuatnya. Dalam menetapkan kriteria kesahihan hadits, terjadi perbedaaan pendapat di kalangan Muhaditsin. Meskipun demikian, kriteria kesahihan hadits yang banyak diikuti oleh para pakar hadits adalah yang dikemukakan oleh Ibn Shalah yang menyebutkan lima kriteria keotentikan hadits, yaitu:
1.    Sanadnya bersambung
Kata ittishal berarti bersambung atau berhubungan. Sanad-nya bersambung artinya setiap rawi hadits yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang sebelumnya dan begitu selanjutnya sampai pada rawi yang pertama. Dengan demikian menurut al-Suyuti, hadits munqati, mu'dhal, mu'allaq, mudallas dan mursal tidak termasuk kategori hadits shahih karena sanad-nya tidak bersambung. Menurut Ibnu al-Shalah, hadits muttasil meliputi hadits marfu dan hadits mauquf. Sedangkan hadits musnad adalah hadits yang khusus disandarkan kepada rasulullaah Saw. Dengan demikian, ulama hadits umumnya berpendapat bahwa hadits musnad pasti marfu' dan bersambung sanad-nya, sedangkan hadits muttashil tidak mesti bersambung sanad-nya.
Sanad suatu hadis dianggap tidak bersambung bila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para perawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dhaif , sehingga hadis yang bersangkutan tidak shahih.[1]
2.    Rawinya 'adil
Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat, karena keadilan itu merupakan suatu sifat yang mendorong seseorang untuk bertakwa dan mengekangnya dari berbuat maksiat, dusta dan lain-lain yang merusak harga diri (muru’ah) seseorang.[2]
Dengan persyaratan ini, maka definisi di atas tidak mencakup hadis maudhu dan hadis-hadis dhaif yang disebabkan rawinya dituduh fasik, rusak muru’ahnya dan sebagainya.
Secara bahasa kata 'adl berasal dari 'adala ya'dilu, 'adalat, yang berarti condong, lurus lawan dari dzalim dan pertengahan. Kata 'adl ini kemudian digunakan oleh muhadditsin sebagai sifat yang mesti ada pada diri seorang rawi agar riwayatnya bisa diterima. Menurut Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, 'adalat merupakan sifat yang melekat didalam jiwa yang mampu mengarahkan pemiliknya untuk senantiasa bertaqwa, menjaga muru'ah, menjauhi perbuatan dosa, tidak melakukan dosa-dosa kecil, dan menjauhi perbuatan yang menjatuhkan muru'ah seperti kencing dijalan, makan dijalan dan lain sebagainya.
3. Rawinya bersifat dhabit.
Dhabit artinya cermat dan kuat hapalannya. Sedangkan yang dimaksud dengan rawi dhabit adalah rawi yang kuat hafalannya, tidak pelupa, tidak banyak ragu, tidak banyak salah, sehingga ia dapat menerima dan menyampaikannya sesuai dengan apa yang ia terima. Dari sudat kuatnya hafalan rawi, ke-dhabit-an ini terbagi menjadi dua
macam, yaitu:pertama, dhabit shadri atau dhabth al-fu'ad, dan kedua dhabth al-kitab.
Dhabt al-Shadr artinya kemampuan untuk memelihara Hadits dalam hafalan sehingga
apa yang ia sampaikan sama dengan apa yang ia terima dari guruya. Sedangkan
dhabth al-kitab adalah terpeliharanya pe-riwayat-an itu melalui tulisan-tulisan yang
dimilikinya.
Yang dimaksud dhabit adalah bahwa rawi hadis yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik , baik hapalannya kuat maupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannnya.[3]
4. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz.
Mengenai hadits yang syadz, al-Syafi'i dan ulama Hijaz berpendapat bahwa suatu hadits dipandang syadz jika ia diriwayatkan oleh seorang yang tsiqat namun bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang tsiqat yang banyak, sementara itu tidak ada rawi lain yang meriwayatkannya.
Sebenarnya kerancuan hadis itu akan hilang dengan terpenuhinya tiga syarat sebelumnya, karena para muhadditsin menganggap bahwa kedhabitan telah mencakup potensi kemampuan rawi yang berkaitan dengan sejumlah hadis yang dikuasainya. Boleh jadi terdapat kekurangpastian dalam salah satu hadisnya, tanpa harus kehilangan predikat kedhabitannya sehubungan dengan hadis-hadisnya yang lain. Kekurangpastian tersebut hanya mengurangi keshahian hadis yang dicurigai saja.[4]  
5. Tidak terdapat cacat ('illat)
Menurut Ibn Shalah, 'illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak shahih menjadi tidak shahih. Hadits yang mengandung unsure 'illat tersebut disebut dengan hadits mu'allal dan ma'lul.  Dikatakan tidak ada cacat jika hadis yang bersangkutan terbebas dari cacat-cacat keshahihannya. Yakni hadis itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnyacacat, meskipun tampak bahwa hadis itu tidak menunjukkan adanya cacat-cacat tersebut. dan hadis yang mengandung cacat itu bukan hadis shahih.
sebagian ulama yang menyebutkan 'illat dan syadz ada pada sanad.[5]
B. Metode Penelitian Hadis.
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan.  Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab menerjemahkannya dengn tariqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Sedangkan metodologi berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan, logos artinya ilmu. Kata metodologi dalam Kamus Besar Bahasa Indosesia diartikan sebagai ilmu tentang metode uraian tentang metode.[6]
Metode berarti cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Kata penelitian yang berasal dari kata teliti yang artinya cermat, seksama, hati-hati, memiliki arti kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum. Sedangkan Moh. Nazir mengungkapkan bahwa penelitian adalah terjemahan dari kata Inggris research. Penelitian merupakan suatu metode untuk menemukan kebenaran, sehingga penelitian juga merupakan metode berpikir kritis. Sehingga metode penelitian hadis dapat diartikan sebagai cara mencari kebenaran dengan analisis data yang dilakukan secara sistematis dan objektif terhadap hadis sebagai sumber hukum islam untuk membuktikan keautentikannya. Sehingga kita dapat memahami hadis dengan mudah serta dapat menilai kualitas hadis tersebut.
Dalam penelitian hadis, terdapat dua objek penelitian, yaitu penelitian sanad dan penelitian matan. Konstruksi hadist secara sederhana tersusun atas pengantar pemberitaan (sanad) dan inti berita (matan). Sanad berfungsi membuktikan proses kesejarahan terjadinya hadist, Sedang matan mempresentasikan konsep ajaran yang terbalut dalam bahasa ungkapan hadist yang diasosiakan kepada sumbernya. Konsekuensi hadist yang demikian menuntut kesadaran bahwa penelitian matan hadist tidak hanya berada dalam wilayah keilmuan semata, melainkan langsung berhubungan dengan ajaran dan keyakinan agama islam. Derajat kebenaran agama islam bertaraf adi kodrati (absolut) karena terjamin oleh otoritas sumbernya, maka kedudukan hadist sebagai wahana untuk memperoleh informasi keislaman perlu diimbangi dengan membatasi ruang gerak penelitian matan agar tidak menjangkau uji kebenaran materi pemberitaan hadist nabawi yang lebih menuntut sikap kedudukan hamba (ta’abudi). Dengan demikian, aplikasi metodologis penelitian matan bersandar pada kriteria maqbul (diterima) atau mardud (ditolak) untuk kepentingan melandasi pemikiran keagamaan, bukan bersandar pada kriteria benar atau salah menurut penilaian keilmuan rasional atau empiris.[7]
Dalam studi hadis persoalan sanad dan matan merupakan dua unsur penting yang menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadis sebagai sumber otoritas ajaran nabi Muhammad SAW. kedua unsur tersebut begitu penting artinya, dan antara yang satu dengan yang lain saling berkaitan erat, sehingga kekosongan salah satunya akan berpengaruh, dan bahkan merusak eksistensi dan kualitas suatu hadis. Karenanya seperti disebutkan, suatu berita yang tidak memiliki sanad tidak dapat disebut hadis, demikian sebaliknya matan, yang sangat memerlukan keberadaan sanad.[8]
Penulis Mesir Ahmad Amin (w.1373-1954) mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan para ahli hadis lebih menfokuskan pada sanad dibanding matan. Abu Rayyah lebih jauh mengatakan bahwa ahli hadis hanya memperhatikan aspek kesinambungan jalur periwayatan dan karakter para perawi, dan sepenuhnya mengabaikan esensi kandungan hadis, dan bahkan mereka gagal menangkap bukti-bukti sejarah. Pendapat Ibn Khaldun, Ahmad Amin dan Abu Rayyaah ini dibantah oleh Musthafa as Siba’i, Muhammad Abu syuhba dan Nur ad Din’ltr. Mereka berpendapat bahwa ulama hadis sama sekali tidak mengabaikan matan, hal ini dapat dilihat dari kriteria-kriteria hadis shahih yang mereka buat. Salah satu kriterianya mengatakan bahwa sebuah hadis jika dianggap shahih apabila sanad dan matannya tidak syaddz dan bebas dari cacat atau ‘illat (hal-hal yang dapat merusak keshahihan hadis).[9]
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Hadis
Tidak dapat dipungkiri bahwa kegunaan dari penelitian ini sangat besar, terutama bagi orang yang mempelajari hadis dan ilmunya. Dengan penelitian, seseorang mampu mengetahui tempat hadis pada sumber aslinya, yang mula-mula dikarang oleh para imam ahli hadis. Kebutuhan penelitian ini sangat perlu sekali, karena orang yang mempelajari ilmu tidak akan dapat membuktikan (menguatkan) dengan suatu hadis atau tidak dapat meriwayatkannya, kecuali setelah mengetahui ulama-ulama yang telah meriwayatkan hadis dalam kitabnya dengan dilengkapi sanadnya. Karena itu masalah penelitian ini sangat dibutuhkan setiap orang yang membahas atau menekuni ilmu-ilmu syar’i dan yang sehubungan dengannya.[10]
Fungsi  hadits Nabi SAW. bagi umat Islam itu sangat urgen. Apalagi, dalam sejarah perkembangannya tersebut. Karenanya, perlu sekali untuk sangat hati-hati dalam mengambil atau menggunakannya. Bagaimanapun, hadits Nabi SAW. adalah hasil dari ikhtiar manusia untuk menghimpun dan mengabadikan aktifitas Nabi SAW., padahal manusia itu tidak anti lupa atau tempatnya salah. Karena itu pula, orisinalitas suatu hadits harus dijaga. Said agil Husein al-Munawwar, ulama Indonesia yang alumnus "Ummul Quro" Mekkah melihat tujuan penelitian hadits dari berbagai segi:
1. Untuk mengetahui aspek-aspek sanad atau perawi hadits, antara lain; tsiqoh atau tidak, dan adil atau tidak, dengan begitu akan diketahui mana hadits yang maqbul atau ditolak.
2. Untuk mengetahui aspek kualitas matan hadits, diantaranya apakah shahih atau dla'if, atau juga apakah suatu hadits itu benar-benar bersumber dari Nabi SAW atau bukan.
3. Pentingnya penelitian itu, karena telah tersebarnya hadits di pelosok dunia.
Sedangkan manfaat dari penelitian hadis ini antara lain sebagai berikut :
1.    Memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dari suatu hadits beserta ulama yang meriwayatkannya.
2.    Menambah pembendaharaan sanad hadits melalui kitab-kitab yang ditunjukkannya.
3.    Memperjelas keadaan sanad, sehingga dapat diketahhui apakah munqathi’ atau lainnya.
4.    Memperjelas perawi hadits yang samar karena dengan adanya penelitian, dapat diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
5.    Dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan dengan lafadz dan yang dilakukan dengan makna saja.
6.    Dan lain-lain[11]

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metode penelitian hadis terdapat pada posisi urgen dan mempunyai tujuan yang sangat besar terhadap perkembangan sumber islam kedua tersebut. metode penelitian hadis dapat diartikan sebagai cara mencari kebenaran dengan analisis data yang dilakukan secara sistematis dan objektif terhadap hadis sebagai sumber hukum islam untuk membuktikan keautentikannya. Sehingga kita dapat memahami hadis dengan mudah serta dapat menilai kualitas hadis tersebut.
Objek penelitian hadis ada dua yaitu sanad dan matan. Sanad berfungsi membuktikan proses kesejarahan terjadinya hadist, Sedang matan mempresentasikan konsep ajaran yang terbalut dalam bahasa ungkapan hadist yang diasosiakan kepada sumbernya. Kegunaan dan tujuan dari keilmuwan ini sangatlah banyak, sehingga setiap ulama berpendapat berbeda dengan porsi masing-masing yang mereka punya. Yang jelas, pada dasarnya penelitian hadis berfungsi untuk menjaga keontetikan hadis dan kemurnian kandungannya. Karena betapapun hadis menjadi sandaran perjalanan hidup manusia dan sumber hukum islam yang qath’i.
B. Saran
1.      Sebagai manusia biasa penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu saran dan kritik akan selalu penulis terima guna penyempurnaan yang lebih baik.
2.      Penelitian seperti ini sangatlah bermanfaat dan membawa guna bagi kehidupan manusia karena menyangkut sumber hukum yaitu Hadis Nabi Muhammad SAW. Sehingga penulis mengharapkan, agar penelitian seperti ini bisa dilanjutkan.



DAFTAR PUSTAKA
Nuruddin 'Itr. Manhaj al-Naqd fi 'Ulum al-Hadit., terj. Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994.
Kamaruddin Amin. Metode Kritik Hadis. Jakarta: Mizan Publika, 2009.
Mahmud at Tahan. Metode Takhrij Penelitian Sanad Hadis.Surabaya. Bina Ilmu. 1995.
Ohari Sahrani. Ulumul Hadits. Bogor. Ghalia Indonesia. 2010.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III.
Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah.Jakarta. Prenada Media, 2003.



[1] Nuruddin 'Itr, Manhaj al-Naqd fi 'Ulum al-Hadits, terj. Mujiyo (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994), 2.
[2] Nuruddin 'Itr, Manhaj al-Naqd fi 'Ulum al-Hadits, terj. Mujiyo, 3.
[3] Ibid, 3.
[4] ibid
[5] Ibid
[6] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III., hal. 740.
[7] ibid
[8] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah(Jakarta: Prenada Media, 2003) 174.
[9] Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis(Jakarta: Mizan Publika, 2009) 6.
[10] Mahmud at Tahan, Metode Takhrij Penelitian Sanad Hadis(Surabaya, Bina Ilmu, 1995) 7
[11] Ohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010) Cet I,  27.

1 komentar: