MODEL PENELITIAN HADIS (NAQD ATAU KRITIK)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Hadis
atau yang disebut juga dengan sunnah, sebagai sumber ajaran islam yang berisi
pernyataan, pengamalan, pengakuan, dan hal ihwal Nabi SAW yang beredar pada
masa nabi Muhammad SAW hingga wafatnya, disepakati sebagai sumber ajaran islam
setelah Alquran dan isinya menjadi hujjah (sumber otoritas) keagamaan. Oleh
karena itu, umat islam pada masa Nabi Muhammad SAW dan pengikut jejaknya,
menggunakan hadis sebagai hujah keagamaan yang diikuti dengan mengamalkan
isinya.
Namun,
keadaan hadis Nabi Muhammad SAW dalam kesepakatan
tersebut, tidaklah demikian keadaannya pasca masa Nabi Muhammad SAW. hadis pasca masa Nabi Muhammad SAW telah
berada dalam suatu kondisi yang mulai tidak seimbang dengan posisi Alquran ,
karena ia telah berada di tengah-tengah banyak faktor misalnya dalam
periwayatan selain berlangsung secara lafal juga berlangsung secara makna,
banyak pemalsuan hadis dan hadis merupakan sumber ajaran islam di samping Alquran yang dibukukan dengan
memakan waktu jauh lebih lama dari pembukuan Alquran. Dari banyak faktor
diatas, maka kondisi hadis pasca masa Nabi Muhammad SAW sudah tidak seperti
pada masa Nabi SAW, dan memiliki banyak peluang untuk diadakan penelitian dan
pengkajian dalam banyak persoalan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Jelaskan
kriteria keshahihan hadis?
2.
Apa yang
diketahui tentang metode penelitian hadis?
3.
Apa
tujuan dan manfaat dari penelitian
hadis?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Untuk
mengetahui kriteria keshahihan hadis.
2.
Untuk
mengetahui tentang metode penelitian hadis.
3.
Untuk
mengetahui tujuan dan manfaat dari
penelitian hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kriteria
kesahihan Hadits
Ulama hadits dalam menetapkan dapat diterimanya
suatu hadits tidak hanya mensyaratkan hal-hal yang berkaitan dengan rawi hadits
saja. Hal ini, disebabkan karena hadits sampai kepada kita melalui mata rantai
yang teruntai dalam sanadnya. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya
syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits disela-sela
mata rantai tersebut. Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan dengan
syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga penyatuan tersebut dapat dijadikan
ukuran untuk mengetahui mana hadits yang dapat diterima dan mana hadits yang
harus ditolak.
Pada umumnya
para pakar hadits mengklasifikasikan hadits kedalam tiga bentuk, yaitu: shahih,
hasan dan dha'if. Adapun hadits maudhu'
tidak termasuk dalam pembagian tersebut, karena pada dasarnya itu bukan
hadits. Penyebutannya sebagai hadits hanya dikatakan oleh orang yang suka
membuatnya. Dalam menetapkan kriteria kesahihan hadits, terjadi perbedaaan
pendapat di kalangan Muhaditsin. Meskipun demikian, kriteria kesahihan
hadits yang banyak diikuti oleh para pakar hadits adalah yang dikemukakan oleh
Ibn Shalah yang menyebutkan lima kriteria keotentikan hadits, yaitu:
1.
Sanadnya
bersambung
Kata ittishal berarti bersambung atau
berhubungan. Sanad-nya bersambung artinya setiap rawi hadits yang
bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang sebelumnya dan begitu
selanjutnya sampai pada rawi yang pertama. Dengan demikian menurut al-Suyuti,
hadits munqati, mu'dhal, mu'allaq, mudallas dan mursal tidak
termasuk kategori hadits shahih karena sanad-nya tidak bersambung. Menurut
Ibnu al-Shalah, hadits muttasil meliputi hadits marfu dan hadits mauquf.
Sedangkan hadits musnad adalah hadits yang khusus disandarkan kepada rasulullaah
Saw. Dengan demikian, ulama hadits umumnya berpendapat bahwa hadits musnad pasti
marfu' dan bersambung sanad-nya, sedangkan hadits muttashil tidak
mesti bersambung sanad-nya.
Sanad suatu
hadis dianggap tidak bersambung bila terputus salah seorang atau lebih dari
rangkaian para perawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu adalah
seorang rawi yang dhaif , sehingga hadis yang bersangkutan tidak shahih.[1]
2. Rawinya
'adil
Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi
diterimanya suatu riwayat, karena keadilan itu merupakan suatu sifat yang
mendorong seseorang untuk bertakwa dan mengekangnya dari berbuat maksiat, dusta
dan lain-lain yang merusak harga diri (muru’ah) seseorang.[2]
Dengan persyaratan ini, maka definisi di atas tidak
mencakup hadis maudhu dan hadis-hadis dhaif yang disebabkan rawinya dituduh
fasik, rusak muru’ahnya dan sebagainya.
Secara bahasa
kata 'adl berasal dari 'adala ya'dilu, 'adalat, yang berarti condong,
lurus lawan dari dzalim dan pertengahan. Kata 'adl ini kemudian
digunakan oleh muhadditsin sebagai sifat yang mesti ada pada diri
seorang rawi agar riwayatnya bisa diterima. Menurut Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, 'adalat
merupakan sifat yang melekat didalam jiwa yang mampu mengarahkan pemiliknya
untuk senantiasa bertaqwa, menjaga muru'ah, menjauhi perbuatan dosa,
tidak melakukan dosa-dosa kecil, dan menjauhi perbuatan yang menjatuhkan
muru'ah seperti kencing dijalan, makan dijalan dan lain sebagainya.
3. Rawinya
bersifat dhabit.
Dhabit artinya
cermat dan kuat hapalannya. Sedangkan yang dimaksud dengan rawi dhabit adalah
rawi yang kuat hafalannya, tidak pelupa, tidak banyak ragu, tidak banyak salah,
sehingga ia dapat menerima dan menyampaikannya sesuai dengan apa yang ia
terima. Dari sudat kuatnya hafalan rawi, ke-dhabit-an ini terbagi
menjadi dua
macam,
yaitu:pertama, dhabit shadri atau dhabth al-fu'ad, dan kedua
dhabth al-kitab.
Dhabt
al-Shadr artinya kemampuan untuk memelihara Hadits dalam
hafalan sehingga
apa
yang ia sampaikan sama dengan apa yang ia terima dari guruya. Sedangkan
dhabth
al-kitab adalah terpeliharanya pe-riwayat-an itu melalui
tulisan-tulisan yang
dimilikinya.
Yang dimaksud
dhabit adalah bahwa rawi hadis yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya
dengan baik , baik hapalannya kuat maupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu
mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannnya.[3]
4. Tidak
terdapat kejanggalan atau syadz.
Mengenai hadits yang syadz, al-Syafi'i dan
ulama Hijaz berpendapat bahwa suatu hadits dipandang syadz jika ia
diriwayatkan oleh seorang yang tsiqat namun bertentangan dengan hadits
yang diriwayatkan oleh orang tsiqat yang banyak, sementara itu tidak ada
rawi lain yang meriwayatkannya.
Sebenarnya
kerancuan hadis itu akan hilang dengan terpenuhinya tiga syarat sebelumnya,
karena para muhadditsin menganggap bahwa kedhabitan telah mencakup potensi
kemampuan rawi yang berkaitan dengan sejumlah hadis yang dikuasainya. Boleh
jadi terdapat kekurangpastian dalam salah satu hadisnya, tanpa harus kehilangan
predikat kedhabitannya sehubungan dengan hadis-hadisnya yang lain.
Kekurangpastian tersebut hanya mengurangi keshahian hadis yang dicurigai saja.[4]
5. Tidak
terdapat cacat ('illat)
Menurut Ibn Shalah, 'illat adalah sebab yang
tersembunyi yang merusak kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan hadits yang
pada lahirnya tampak shahih menjadi tidak shahih. Hadits yang mengandung unsure
'illat tersebut disebut dengan hadits mu'allal dan ma'lul.
Dikatakan tidak ada cacat jika hadis
yang bersangkutan terbebas dari cacat-cacat keshahihannya. Yakni hadis itu
terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnyacacat, meskipun tampak bahwa
hadis itu tidak menunjukkan adanya cacat-cacat tersebut. dan hadis yang
mengandung cacat itu bukan hadis shahih.
sebagian
ulama yang menyebutkan 'illat dan syadz ada pada sanad.[5]
B. Metode Penelitian
Hadis.
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani
methodos, yang berarti cara atau jalan.
Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab
menerjemahkannya dengn tariqat dan manhaj. Dalam bahasa
Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara teratur yang digunakan untuk
melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yang ditentukan. Sedangkan metodologi berasal dari bahasa
Yunani methodos yang berarti cara atau jalan, logos artinya ilmu. Kata
metodologi dalam Kamus Besar Bahasa Indosesia diartikan sebagai ilmu tentang
metode uraian tentang metode.[6]
Metode
berarti cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar
tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, atau cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Kata
penelitian yang berasal dari kata teliti yang artinya cermat, seksama,
hati-hati, memiliki arti kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan
penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan
suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan
prinsip-prinsip umum. Sedangkan Moh. Nazir mengungkapkan bahwa penelitian
adalah terjemahan dari kata Inggris research. Penelitian merupakan suatu metode
untuk menemukan kebenaran, sehingga penelitian juga merupakan metode berpikir
kritis. Sehingga metode penelitian hadis dapat diartikan sebagai cara mencari
kebenaran dengan analisis data yang dilakukan secara sistematis dan objektif
terhadap hadis sebagai sumber hukum islam untuk membuktikan keautentikannya.
Sehingga kita dapat memahami hadis dengan mudah serta dapat menilai kualitas
hadis tersebut.
Dalam
penelitian hadis, terdapat dua objek penelitian, yaitu penelitian sanad dan
penelitian matan. Konstruksi hadist secara sederhana tersusun atas pengantar
pemberitaan (sanad) dan inti berita (matan). Sanad berfungsi membuktikan proses
kesejarahan terjadinya hadist, Sedang matan mempresentasikan konsep ajaran yang
terbalut dalam bahasa ungkapan hadist yang diasosiakan kepada sumbernya.
Konsekuensi hadist yang demikian menuntut kesadaran bahwa penelitian matan
hadist tidak hanya berada dalam wilayah keilmuan semata, melainkan langsung
berhubungan dengan ajaran dan keyakinan agama islam. Derajat kebenaran agama
islam bertaraf adi kodrati (absolut) karena terjamin oleh otoritas sumbernya,
maka kedudukan hadist sebagai wahana untuk memperoleh informasi keislaman perlu
diimbangi dengan membatasi ruang gerak penelitian matan agar tidak menjangkau
uji kebenaran materi pemberitaan hadist nabawi yang lebih menuntut sikap
kedudukan hamba (ta’abudi). Dengan demikian, aplikasi metodologis penelitian
matan bersandar pada kriteria maqbul (diterima) atau mardud (ditolak) untuk kepentingan
melandasi pemikiran keagamaan, bukan bersandar pada kriteria benar atau salah
menurut penilaian keilmuan rasional atau empiris.[7]
Dalam
studi hadis persoalan sanad dan matan merupakan dua unsur penting yang
menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadis sebagai sumber otoritas ajaran
nabi Muhammad SAW. kedua unsur tersebut begitu penting artinya, dan antara yang
satu dengan yang lain saling berkaitan erat, sehingga kekosongan salah satunya
akan berpengaruh, dan bahkan merusak eksistensi dan kualitas suatu hadis.
Karenanya seperti disebutkan, suatu berita yang tidak memiliki sanad tidak
dapat disebut hadis, demikian sebaliknya matan, yang sangat memerlukan
keberadaan sanad.[8]
Penulis Mesir
Ahmad Amin (w.1373-1954) mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan para ahli
hadis lebih menfokuskan pada sanad dibanding matan. Abu Rayyah lebih jauh
mengatakan bahwa ahli hadis hanya memperhatikan aspek kesinambungan jalur
periwayatan dan karakter para perawi, dan sepenuhnya mengabaikan esensi
kandungan hadis, dan bahkan mereka gagal menangkap bukti-bukti sejarah.
Pendapat Ibn Khaldun, Ahmad Amin dan Abu Rayyaah ini dibantah oleh Musthafa as Siba’i,
Muhammad Abu syuhba dan Nur ad Din’ltr. Mereka berpendapat bahwa ulama hadis
sama sekali tidak mengabaikan matan, hal ini dapat dilihat dari
kriteria-kriteria hadis shahih yang mereka buat. Salah satu kriterianya
mengatakan bahwa sebuah hadis jika dianggap shahih apabila sanad dan matannya
tidak syaddz dan bebas dari cacat atau ‘illat (hal-hal yang dapat merusak
keshahihan hadis).[9]
C. Tujuan
dan Manfaat Penelitian Hadis
Tidak dapat
dipungkiri bahwa kegunaan dari penelitian ini sangat besar, terutama bagi orang
yang mempelajari hadis dan ilmunya. Dengan penelitian, seseorang mampu
mengetahui tempat hadis pada sumber aslinya, yang mula-mula dikarang oleh para
imam ahli hadis. Kebutuhan penelitian ini sangat perlu sekali, karena orang
yang mempelajari ilmu tidak akan dapat membuktikan (menguatkan) dengan suatu
hadis atau tidak dapat meriwayatkannya, kecuali setelah mengetahui ulama-ulama
yang telah meriwayatkan hadis dalam kitabnya dengan dilengkapi sanadnya. Karena
itu masalah penelitian ini sangat dibutuhkan setiap orang yang membahas atau
menekuni ilmu-ilmu syar’i dan yang sehubungan dengannya.[10]
Fungsi hadits Nabi SAW. bagi umat Islam itu sangat
urgen. Apalagi, dalam sejarah perkembangannya tersebut. Karenanya, perlu sekali
untuk sangat hati-hati dalam mengambil atau menggunakannya. Bagaimanapun,
hadits Nabi SAW. adalah hasil dari ikhtiar manusia untuk menghimpun dan
mengabadikan aktifitas Nabi SAW., padahal manusia itu tidak anti lupa atau tempatnya
salah. Karena itu pula, orisinalitas suatu hadits harus dijaga. Said agil
Husein al-Munawwar, ulama Indonesia yang alumnus "Ummul Quro" Mekkah
melihat tujuan penelitian hadits dari berbagai segi:
1. Untuk
mengetahui aspek-aspek sanad atau perawi hadits, antara lain; tsiqoh atau
tidak, dan adil atau tidak, dengan begitu akan diketahui mana hadits yang
maqbul atau ditolak.
2. Untuk
mengetahui aspek kualitas matan hadits, diantaranya apakah shahih atau dla'if,
atau juga apakah suatu hadits itu benar-benar bersumber dari Nabi SAW atau
bukan.
3. Pentingnya penelitian itu, karena
telah tersebarnya hadits di pelosok dunia.
Sedangkan manfaat dari penelitian
hadis ini antara lain sebagai berikut :
1. Memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal
dari suatu hadits beserta ulama yang meriwayatkannya.
2. Menambah pembendaharaan sanad hadits melalui
kitab-kitab yang ditunjukkannya.
3. Memperjelas keadaan sanad, sehingga dapat diketahhui
apakah munqathi’ atau lainnya.
4. Memperjelas perawi hadits yang samar karena dengan
adanya penelitian, dapat diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
5. Dapat membedakan antara proses periwayatan yang
dilakukan dengan lafadz dan yang dilakukan dengan makna saja.
6. Dan lain-lain[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Metode
penelitian hadis terdapat pada posisi urgen dan mempunyai tujuan yang sangat
besar terhadap perkembangan sumber islam kedua tersebut. metode penelitian
hadis dapat diartikan sebagai cara mencari kebenaran dengan analisis data yang
dilakukan secara sistematis dan objektif terhadap hadis sebagai sumber hukum
islam untuk membuktikan keautentikannya. Sehingga kita dapat memahami hadis
dengan mudah serta dapat menilai kualitas hadis tersebut.
Objek
penelitian hadis ada dua yaitu sanad dan matan. Sanad berfungsi membuktikan
proses kesejarahan terjadinya hadist, Sedang matan mempresentasikan konsep
ajaran yang terbalut dalam bahasa ungkapan hadist yang diasosiakan kepada
sumbernya. Kegunaan dan tujuan dari keilmuwan ini sangatlah banyak, sehingga
setiap ulama berpendapat berbeda dengan porsi masing-masing yang mereka punya.
Yang jelas, pada dasarnya penelitian hadis berfungsi untuk menjaga keontetikan
hadis dan kemurnian kandungannya. Karena betapapun hadis menjadi sandaran
perjalanan hidup manusia dan sumber hukum islam yang qath’i.
B. Saran
1.
Sebagai
manusia biasa penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan
makalah ini. Oleh karena itu saran dan kritik akan selalu penulis terima guna
penyempurnaan yang lebih baik.
2.
Penelitian
seperti ini sangatlah bermanfaat dan membawa guna bagi kehidupan manusia karena
menyangkut sumber hukum yaitu Hadis Nabi Muhammad SAW. Sehingga penulis
mengharapkan, agar penelitian seperti ini bisa dilanjutkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Nuruddin 'Itr. Manhaj al-Naqd fi 'Ulum al-Hadit., terj.
Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994.
Kamaruddin
Amin. Metode Kritik Hadis. Jakarta: Mizan Publika, 2009.
Mahmud at
Tahan. Metode Takhrij Penelitian Sanad Hadis.Surabaya. Bina Ilmu. 1995.
Ohari Sahrani. Ulumul Hadits. Bogor. Ghalia Indonesia. 2010.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III.
Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah.Jakarta.
Prenada Media, 2003.
[1] Nuruddin 'Itr, Manhaj al-Naqd fi 'Ulum al-Hadits,
terj.
Mujiyo (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994), 2.
[2] Nuruddin 'Itr, Manhaj al-Naqd fi 'Ulum al-Hadits,
terj.
Mujiyo, 3.
[3] Ibid,
3.
[4] ibid
[5] Ibid
[6] Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. jakarta:
Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III., hal. 740.
[7] ibid
[8]
Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah(Jakarta: Prenada Media, 2003)
174.
[9]
Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis(Jakarta: Mizan Publika, 2009) 6.
[10]
Mahmud at Tahan, Metode Takhrij Penelitian Sanad Hadis(Surabaya, Bina Ilmu,
1995) 7
[11]
Ohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010) Cet I, 27.
Dasar Tecnologi :Izin copy gan.. ini sngat bermanfaat sekali
BalasHapus